
Jakarta - Layaknya berburu tiket mudik, saat ini para pendukung tim nasional (timnas) juga akan antre berebut tiket pertandingan Pra Piala Dunia (PPD) antara Indonesia vs Turkmenistan yang akan digelar di stadion Gelora Bung Karno, Kamis (28/7) mendatang. Seakan bernasib sama dengan buruknya pelayanan publik untuk mudik, penjualan dan distribusi tiket untuk pertandingan tersebut juga mungkin saja masih tidak akan teratur.
Sebagai suporter timnas, memori yang sama saat Piala AFF 2010 pasti tidak akan terlupakan. Memori pertama, terkait ticketing dan hasil laba penjualan yang tidak transparan. Antrean panjang suporter yang datang jauh-jauh dari pelosok negeri tidak diimbangi dengan pelayanan layak dari panitia yang notabene adalah pengurus "PSSI orde baru", yang saat itu masih dipimpin oleh Nurdin Halid. Lebih ironis lagi, hasil penjualan tiket tidak pernah transparan dan yang lebih menyakitkan, diduga beberapa pertandingan "dijual" dalam bursa judi oleh segelintir oknum.
Saat itu suporter seolah-olah diposisikan sebagai "pengemis" yang butuh tiket pertandingan, bukan sebagai "raja"”. Kenapa suporter itu raja, karena mereka sebagai konsumen membeli tiket dan kemudian bisa menikmati jasa pertandingan. Selain itu, tanpa kehadiran pemain ke-12 ini dapat dipastikan tidak akan ada "nyawa" dari sepakbola itu sendiri. Riuh rendah penonton tidak akan ada, sehingga atmosfer pertandingan akan beku. Pemain pun tidak akan menemukan aura patriotisme sebagai bentuk aktualisasi peran sebagai pahlawan. Berbaju merah-putih dengan lambang garuda di dada, dibusungkan dan berjuang ditanah lapang. Para pemain adalah wakil Indonesia di lapangan.
Sayangnya PSSI pada saat itu tidak melihat hal itu sebagai faktor penting. Mengesampingkan peran suporter sebagai representasi masyarakat Indonesia yang mencintai sepakbola. Dan justru lebih mengutamakan kepentingan kelompok untuk mengkapitalisasi, mempolitisasi, dan mengkooptasi sepakbola untuk membangun rezim yang status quo.
Alasan di atas inilah yang kemudian melahirkan memori kedua perjalanan kita, di mana pasca Piala AFF sesungguhnya gerakan perubahan: Revolusi PSSI dimulai. Mulai dari suporter yang kecewa karena Indonesia tidak juara, hasil penjualan tiket yang tidak transparan, pengurus PSSI yang koruptif, dan liga yang manipulatif. Akumulasi dari permasalahan itu yang membuat mereka dari seluruh penjuru negeri bergerak dan melawan rezim PSSI. Bergerak mengepung kantor PSSI selama sembilan hari dengan tuntutan perubahan pada sepakbola kita.
Turunkan Nurdin! Tangkap dan Penjarakan Pengurus PSSI! Lawan KoruPSSI! Teriakan seperti itulah yang mereka gelorakan setiap hari di depan kantor PSSI. Berkonsolidasi, terintimidasi, namun berani meneriakkan revolusi. Walaupun tidak serta merta menurunkan Rezim PSSI, namun akhirnya kemenangan itu tiba, bahwa sekarang Nurdin Halid tidak lagi berkuasa. Walapun dosa-dosanya tak terlupakan, namun era sepakbola kita sudah berganti. Menata diri dan kemudian berbenah menuju sepakbola yang mandiri dan enak ditonton oleh semua golongan masyarakat baik kaya, menengah dan miskin sehingga sepakbola menjadi pelipur lara atas penindasan penguasa.
Saat ini rezim sudah berganti. Dan besok saat timnas melawan Turkmenistan (28/7) di Gelora Bung Karno adalah parameter babak baru sepakbola kita. Besok kita bisa melihat cerminan, bagaimana sebenarnya pengurus PSSI saat ini. Mampu menata diri sebelum menata klub, bisa menjadikan suporter sebagai asset, bisa menjanjikan prestasi timnas atau tidak ? Mampu belajar dari rezim "PSSI orde baru" atau tidak ?
Jika tidak, tentunya akan bernasib sama dengan rezim sebelumnya. Tetapi jika mampu memberikan secerca harapan, sebaliknya pasti akan di dukung.
Misalnya, jika kita percaya bahwa perubahan itu bisa dilihat dari hal yang kecil, dari tiket pertandingan besok saja perubahan sepakbola itu bisa terjadi. Dan kembali suporter sebagi titik vital. Suporter sebagai pembeli tiket layaknya warga negara sebagai pembayar pajak. Konsekuensinya, PSSI sebagai "negara" harus memberikan hak kepada rakyatnya yaitu suporter khususnya dan pecinta sepakbola Indonesia pada umumnya.
Jadi, penjualan tiket harus segera ditata oleh pengurus PSSI sekarang. Dijual secara merata dan teratur. Dan yang paling penting adalah meminimalisir calo tiket di GBK. Jika ada calo, pengurus PSSI melalui keamanan dapat menangkap dan bisa diproses hukum. Calo ini beragam, ada calo secara pribagi dan ada calo yang terkoordinir, bahkan ada sekelompok suporter yang juga mencari keuntungan dengan berbisnis calo tiket. Jadi, mengatasi calo ini penting sebagai percontohan untuk klub dan komitmen pengurus baru membentuk sepakbola yang bersih, baik di lapangan ataupun diluar lapangan.
Setelah itu hasil penjualan tiket harus transparan dan disampaikan ke masyarakat. Ini sebagai tolak ukur komitmen pengurus PSSI yang transparan dan akuntabel. Seperti kita ketahui bahwa panitia akan menjual tiket VVIP Rp 500 ribu (200 lembar), VIP Barat Rp 250 ribu (1.600 lembar), VIP Timur Rp150 ribu (1.750 lembar), Kategori 1 Rp 100 ribu (8.950 lembar), Kategori II Rp 50 ribu (7000 lembar), Kategori III Rp 30 ribu (12.500 lembar). Dalam hitungan Save Our Soccer, jika semuanya terjual, panitia akan mendapatkan penghasilan hasil sebesar Rp. 2.697.500.000,00. Sungguh pendapatan yang cukup fantastis untuk sebuah pertandingan bukan?
Dari hal tersebut juga bisa dilihat, bahwa sepakbola kita mempunyai potensi bisnis yang menjanjikan jika dikelola secara profesional. Bayangkan jika setiap pertandingan klub dalam setiap pertandingan dapat menghasilkan uang dari penjualan tiket seperempat dari pertandingan timnas misalnya. Asumsikan saja Rp 500 juta per pertandingan dan setiap klub itu melakoni 34 laga setiap musim. Maka pendapatannya bisa mencapai Rp 17 miliar satu musim. Itu hanya dari tiket saja, belum lagi ditambah dengan sponsorship dan hak siar televisi.
Luar biasa, dari tiket saja perubahan sepakbola bisa terjadi. Dari penjualan tiket yang transparan dan akuntabel, klub bisa hidup tanpa bergantung pada APBD. Dengan begitu sepakbola industri sebenarnya bukan lagi sebuah impian belaka, tetapi sebuah babak baru yang akan segera kita masuki.
Terakhir, pesan untuk pengurus PSSI saat ini, kelola tiket secara profesional, sampaikan pendapatan dan alokasi kepada publik, supaya klub bisa mencontoh dan menerapkan. Bukan hanya teori, tetapi PSSI harus mulai dengan hal yang kecil yaitu tindakan. Mulai dari hal kecil yaitu ticketing.
Tapi jangan lupa, untuk suporter juga membeli tiket melalui agen resmi bukan calo. Dengan begitu kita telah membeli "tiket" untuk perubahan sepakbola Indonesia.
=
Penulis adalah pecinta sepakbola, Koordinator Save Our Soccer (SOS) .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar