
Jakarta - Anton Sanjoyo mengakhiri artikelnya tentang perkembangan terbaru di tubuh PSSI, "Rekonsiliasi Tanpa Dendam" (Kompas, 14 April 2011), dengan kutipan Nelson Mandela: "Rekonsiliasi itu memaafkan. Tidak boleh ada dendam. Kita memasuki era baru."
Sebuah penutup artikel yang terdiri atas tiga kalimat, tiga pernyataan, tiga keyakinan dan -- untuk saya -- juga tiga biji "salah paham". Saya menyebutnya "salah paham", mula-mula bukan untuk pernyataan Mandela itu sendiri, melainkan cara Joy meletakkan kutipan itu tanpa memperhatikan bagaimana rekonsiliasi dibangun di Afrika Selatan.
Pertama, rekonsiliasi itu memaafkan atau dalam kata-kata Joy di bagian yang lain, "...sifat dasar dari rekonsiliasi adalah memaafkan".
Untuk saya, sifat dasar rekonsiliasi bukanlah "memaafkan", tapi "keadilan", juga "kebenaran".
Dengan "keadilan", siapa saja pemimpin atau pribadi yang melakukan kesalahan, kekeliruan, dusta, suap sampai manipulasi (sebagaimana yang dilakukan rezim Nurdin Halid) harus dimintai pertanggungjawabannya. Kesalahan organisasional harus dipertanggungjawabkan di depan kongres dan dusta-manipulasi-suap yang menjadi domain hukum harus pula dipertanggungjawabkan di depan hukum.
Dengan "kebenaran", para pelaku kesalahan dan kejahatan tidak semata-mata dipaksa untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, tapi yang tidak kalah penting –- menyitir kata-kata Asmara Nababan -- "diperolehnya pengetahuan yang benar tentang pola pelanggaran di masa lampau", sehingga dapat dilakukan perubahan kebijakan dan institusional. Dengan perubahan ini dicegah terulangnya pelanggaran yang sama di masa depan.
Itu sebabnya di Afrika Selatan (juga di negara-negara yang ingin menyelesaikan konflik laten di masa silam) dibikin Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, bukan hanya Komisi Rekonsiliasi. Kutipan Joy tentang Mandela itu "salah paham" karena bisa menimbulkan pengertian bahwa permaafan Mandela adalah sesuatu yang tak diikuti/dilengkapi proses yang lain.
Yang dikatakan Joy dalam artikelnya melulu dan melulu rekonsiliasi, mengulang pentingnya permaafan. Tak ada separagraf pun Joy bicara perihal kelakukan manipulatif nan sistemik dari Rezim Nurdin, apalagi bicara tentang upaya pengungkapannya. Joy langsung melompat pada gagasan rekonsiliasi, dan memberikan permaafan begitu saja.
Kedua, tidak boleh ada dendam. Joy menampilkan kutipan Mandela itu dengan sebelumnya menyusun framming berparagraf-paragraf ihwal kengototan Kelompok Pemilik Suara (KP) 78 sebagai manifestasi haus kekuasaan dan -- dalam kata-kata Joy sendiri -- "masih membawa dendam masa lalu".
Saya tidak tahu apa agenda KP 78. Yang saya tahu: upaya serius menuntut pertanggungjawaban dan mengungkap pola-pola manipulasi di masa silam tidak serta merta membuat upaya itu patut dicap "proyek balas dendam". Itu adalah bagian inheren dari gagasan rekonsiliasi yang diusung oleh Anton Sanjoyo, Yudi Oktav, Andi Bachtiar Yusuf, dll.
Memaafkan itu gampang, apalagi kalau mentok cuma sebatas bibir. Yang harus diupayakan adalah bagaimana proses permaafan dan rekonsiliasi itu didahului oleh suatu ikhtiar serius yang akan mencoba memastikan bahwa praktik kesalahan, dusta, manipulasi, dan suap-menyuap itu tidak terulang lagi. Dan itu bisa dimungkinkan dengan menuntut pertanggungjawaban kepemimpinan Nurdin Halid yang dari sana pola-pola kesalahan dan manipulasi itu pun bisa diketahui oleh publik sehingga siapa pun bisa sama-sama mencegahnya di kemudian hari.
Ini bukan upaya mengabadikan (luka-konflik) masa silam, tapi justru untuk menyiapkan masa depan. Risiko implisit dari tulisan dan judul tulisan Joy itu adalah: bahkan orang yang menuntut keadilan dan pengungkapan kebenaran tentang kebusukan PSSI pun harus siap dicap sebagai "para pendendam".
Ketiga, kita memasuki era baru. Lagi-lagi itu (masih) kutipan Mandela yang dicuplik begitu saja oleh Joy dalam artikelnya. "Politik kutipan" itu menyiapkan framming: era baru itu hanya mungkin terjadi dengan permaafan.
Tapi tak jelas rekonsiliasi dan permaafan macam apa. Yang terungkap dari tulisan itu adalah rekonsiliasi cuma-cuma dan permaafan gratis begitu saja. Imbauan itu terasa santun, elegan, bernuansa budaya timur dan moralis, padahal di sana tercium upaya pembiaran atas manipulasi, kebusukan dan laku kriminil (suap menyuap, misal: kasus Persisam).
Era baru macam apakah yang akan lahir dari rekonsiliasi dan permaafan cuma-cuma yang membiarkan dusta dan manipulasi lenggang kangung begitu saja?
Tak ada, sebagaimana Indonesia. Laku dan praktif KKN nan manipulatif dari Soeharto dan kroni-kroninya dibiarkan tanpa proses pertanggungjawaban dan pengadilan terbukti membuat praktik manipulatif KKN sampai sekarang tak pernah bisa dibikin tuntas. Sebagaimana Nurdin-Besoes yang mungkin berpikir: "Ah, santai sajalah, Soeharto saja yang kesalahannya jelas gak diapa-apain, kok."
Rekonsiliasi dan permaafan gratis dan cuma-cuma hanya membikin Indonesia (juga sepakbola kita) menjadi permisif atas kejahatan dan manipulasi. Lantas apa bedanya dengan Nurdin yang membiarkan Komdis menghukum pemain-pelatih-manajer karena kesalahan tapi lantas dia sendiri yang memberikan amnesti dan pengampunan gratis dan cuma-cuma? Jangan kita tanpa sadar menjadi Nurdin dengan cara yang lain, me-Nurdin, mem-Besoes.
Untuk itulah, Komite Normalisasi dan kepengurusan PSSI mendatang harus berani membikin tim yang secara khusus meneliti dan mengkaji praktik-praktik busuk di masa lalu (pengampunan yang sering diberikan Nurdin, bagaimana Togar Manahan Nero bisa aktif lagi di kepengurusan setelah kasus suap di Penajam, dll). Audit secara keseluruhan dan total keuangan PSSI sebelumanya, cari tahu bagaimana dan kenapa hadiah juara liga selalu terlambat berbulan-bulan, dll.
Lalu, hasil dari investigasi dan audit menyeluruh itu harus diumumkan kepada publik. Beri hukuman yang keras pada para pelakunya (larang mereka berkecimpung dalam sepakbola untuk durasi panjang) dan bawa ke meja hijau untuk pelanggaran-pelanggaran yang memang seharusnya diselesaikan di pengadilan.
Hanya dengan itulah ucapan Mandela yang dikutip Anton Sanjoyo menjadi lebih berdaya dan terasa, bukan sekadar laku "politik kutipan" untuk membunga-bungai sebuah tulisan. Hanya dengan itu pula kalimat terakhir Anton Sanjoyo di tulisannya (yang juga mengutip Mandela) terealisasi dengan sepenuhnya: "Kita memasuki era baru!"
==
* Penulis adalah pemerhati sepakbola. Artikel ini adalah opini penulis, tidak mencerminkan sikap dan pendapat redaksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar