Home

Senin, 14 November 2011

Prestasi Indonesia Jeblok, PSSI Tak Pecat Wim


Bola.net - Kritik pedas tengah menumpuk kepadaWim Rijsbergen, pelatih kepala Timnas Indonesia di ajang Pra Piala Dunia (PPD) 2014. Pelatih asal Belanda tersebut dituntut bertanggung jawab atas hasil buruk yang dicapai Bambang Pamungkasdan kawan-kawan.

Selalu kalah dalam empat pertandingan, membuat jalan Indonesia untuk lolos ke putaran final Piala Dunia 2014, dipastikan tidak akan berlanjut. Puncaknya, ketika kalah telak dari Qatar dengan skor 0-4, di Stadion Jassim Bin hamad, Doha, Qatar, Jumat (11/11) lalu.

Sayangnya, PSSI seolah adem-ayem saja melihat hal raport jelek tersebut. Buktinya, Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin mengatakan jika Wim masih aman di posisinya. Meski Djohar mengisyaratkan adanya pergantian, namun tidak tegas disebutkan siapa dan kapan akan dilakukannya.

"Yang pasti bukan untuk saat ini (pergantian pelatih), karena tugas Wim masih panjang. Tidak mungkin seorang pelatih membawa timnya sukses dalam waktu singkat. Lagi pula, sekarang dalam masa peralihan," kata Djohar kepadaBola.net.

Djohar juga menepis kabar jika pelatih Timnas U-23, Rahmad Darmawan, yang didapuk menjadi pengganti Wim setelah tugasnya beres di SEA Games XXVI/2011.

"Rencana seperti itu tidak pernah ada. Tolong jangan mengada-ada. Justru, yang akan terjadi adalah Wim dan Rahmad akan bersama-sama mencari pemain dalam kompetisi yang bergulir. Sebab, ini merupakan program dari PSSI dalam membentuk enam pilar Tim Nasional," tutupnya. (esa/end)

Keadilan Bagi Masa Depan Sepakbola Indonesia


Jakarta - Anton Sanjoyo mengakhiri artikelnya tentang perkembangan terbaru di tubuh PSSI, "Rekonsiliasi Tanpa Dendam" (Kompas, 14 April 2011), dengan kutipan Nelson Mandela: "Rekonsiliasi itu memaafkan. Tidak boleh ada dendam. Kita memasuki era baru."

Sebuah penutup artikel yang terdiri atas tiga kalimat, tiga pernyataan, tiga keyakinan dan -- untuk saya -- juga tiga biji "salah paham". Saya menyebutnya "salah paham", mula-mula bukan untuk pernyataan Mandela itu sendiri, melainkan cara Joy meletakkan kutipan itu tanpa memperhatikan bagaimana rekonsiliasi dibangun di Afrika Selatan.

Pertama, rekonsiliasi itu memaafkan atau dalam kata-kata Joy di bagian yang lain, "...sifat dasar dari rekonsiliasi adalah memaafkan".

Untuk saya, sifat dasar rekonsiliasi bukanlah "memaafkan", tapi "keadilan", juga "kebenaran".

Dengan "keadilan", siapa saja pemimpin atau pribadi yang melakukan kesalahan, kekeliruan, dusta, suap sampai manipulasi (sebagaimana yang dilakukan rezim Nurdin Halid) harus dimintai pertanggungjawabannya. Kesalahan organisasional harus dipertanggungjawabkan di depan kongres dan dusta-manipulasi-suap yang menjadi domain hukum harus pula dipertanggungjawabkan di depan hukum.

Dengan "kebenaran", para pelaku kesalahan dan kejahatan tidak semata-mata dipaksa untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, tapi yang tidak kalah penting –- menyitir kata-kata Asmara Nababan -- "diperolehnya pengetahuan yang benar tentang pola pelanggaran di masa lampau", sehingga dapat dilakukan perubahan kebijakan dan institusional. Dengan perubahan ini dicegah terulangnya pelanggaran yang sama di masa depan.

Itu sebabnya di Afrika Selatan (juga di negara-negara yang ingin menyelesaikan konflik laten di masa silam) dibikin Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, bukan hanya Komisi Rekonsiliasi. Kutipan Joy tentang Mandela itu "salah paham" karena bisa menimbulkan pengertian bahwa permaafan Mandela adalah sesuatu yang tak diikuti/dilengkapi proses yang lain.

Yang dikatakan Joy dalam artikelnya melulu dan melulu rekonsiliasi, mengulang pentingnya permaafan. Tak ada separagraf pun Joy bicara perihal kelakukan manipulatif nan sistemik dari Rezim Nurdin, apalagi bicara tentang upaya pengungkapannya. Joy langsung melompat pada gagasan rekonsiliasi, dan memberikan permaafan begitu saja.

Kedua, tidak boleh ada dendam. Joy menampilkan kutipan Mandela itu dengan sebelumnya menyusun framming berparagraf-paragraf ihwal kengototan Kelompok Pemilik Suara (KP) 78 sebagai manifestasi haus kekuasaan dan -- dalam kata-kata Joy sendiri -- "masih membawa dendam masa lalu".

Saya tidak tahu apa agenda KP 78. Yang saya tahu: upaya serius menuntut pertanggungjawaban dan mengungkap pola-pola manipulasi di masa silam tidak serta merta membuat upaya itu patut dicap "proyek balas dendam". Itu adalah bagian inheren dari gagasan rekonsiliasi yang diusung oleh Anton Sanjoyo, Yudi Oktav, Andi Bachtiar Yusuf, dll.

Memaafkan itu gampang, apalagi kalau mentok cuma sebatas bibir. Yang harus diupayakan adalah bagaimana proses permaafan dan rekonsiliasi itu didahului oleh suatu ikhtiar serius yang akan mencoba memastikan bahwa praktik kesalahan, dusta, manipulasi, dan suap-menyuap itu tidak terulang lagi. Dan itu bisa dimungkinkan dengan menuntut pertanggungjawaban kepemimpinan Nurdin Halid yang dari sana pola-pola kesalahan dan manipulasi itu pun bisa diketahui oleh publik sehingga siapa pun bisa sama-sama mencegahnya di kemudian hari.

Ini bukan upaya mengabadikan (luka-konflik) masa silam, tapi justru untuk menyiapkan masa depan. Risiko implisit dari tulisan dan judul tulisan Joy itu adalah: bahkan orang yang menuntut keadilan dan pengungkapan kebenaran tentang kebusukan PSSI pun harus siap dicap sebagai "para pendendam".

Ketiga, kita memasuki era baru. Lagi-lagi itu (masih) kutipan Mandela yang dicuplik begitu saja oleh Joy dalam artikelnya. "Politik kutipan" itu menyiapkan framming: era baru itu hanya mungkin terjadi dengan permaafan.

Tapi tak jelas rekonsiliasi dan permaafan macam apa. Yang terungkap dari tulisan itu adalah rekonsiliasi cuma-cuma dan permaafan gratis begitu saja. Imbauan itu terasa santun, elegan, bernuansa budaya timur dan moralis, padahal di sana tercium upaya pembiaran atas manipulasi, kebusukan dan laku kriminil (suap menyuap, misal: kasus Persisam).

Era baru macam apakah yang akan lahir dari rekonsiliasi dan permaafan cuma-cuma yang membiarkan dusta dan manipulasi lenggang kangung begitu saja?

Tak ada, sebagaimana Indonesia. Laku dan praktif KKN nan manipulatif dari Soeharto dan kroni-kroninya dibiarkan tanpa proses pertanggungjawaban dan pengadilan terbukti membuat praktik manipulatif KKN sampai sekarang tak pernah bisa dibikin tuntas. Sebagaimana Nurdin-Besoes yang mungkin berpikir: "Ah, santai sajalah, Soeharto saja yang kesalahannya jelas gak diapa-apain, kok."

Rekonsiliasi dan permaafan gratis dan cuma-cuma hanya membikin Indonesia (juga sepakbola kita) menjadi permisif atas kejahatan dan manipulasi. Lantas apa bedanya dengan Nurdin yang membiarkan Komdis menghukum pemain-pelatih-manajer karena kesalahan tapi lantas dia sendiri yang memberikan amnesti dan pengampunan gratis dan cuma-cuma? Jangan kita tanpa sadar menjadi Nurdin dengan cara yang lain, me-Nurdin, mem-Besoes.

Untuk itulah, Komite Normalisasi dan kepengurusan PSSI mendatang harus berani membikin tim yang secara khusus meneliti dan mengkaji praktik-praktik busuk di masa lalu (pengampunan yang sering diberikan Nurdin, bagaimana Togar Manahan Nero bisa aktif lagi di kepengurusan setelah kasus suap di Penajam, dll). Audit secara keseluruhan dan total keuangan PSSI sebelumanya, cari tahu bagaimana dan kenapa hadiah juara liga selalu terlambat berbulan-bulan, dll.

Lalu, hasil dari investigasi dan audit menyeluruh itu harus diumumkan kepada publik. Beri hukuman yang keras pada para pelakunya (larang mereka berkecimpung dalam sepakbola untuk durasi panjang) dan bawa ke meja hijau untuk pelanggaran-pelanggaran yang memang seharusnya diselesaikan di pengadilan.

Hanya dengan itulah ucapan Mandela yang dikutip Anton Sanjoyo menjadi lebih berdaya dan terasa, bukan sekadar laku "politik kutipan" untuk membunga-bungai sebuah tulisan. Hanya dengan itu pula kalimat terakhir Anton Sanjoyo di tulisannya (yang juga mengutip Mandela) terealisasi dengan sepenuhnya: "Kita memasuki era baru!"



==

* Penulis adalah pemerhati sepakbola. Artikel ini adalah opini penulis, tidak mencerminkan sikap dan pendapat redaksi.

'Tiket' Perubahan Sepakbola Indonesia


Jakarta - Layaknya berburu tiket mudik, saat ini para pendukung tim nasional (timnas) juga akan antre berebut tiket pertandingan Pra Piala Dunia (PPD) antara Indonesia vs Turkmenistan yang akan digelar di stadion Gelora Bung Karno, Kamis (28/7) mendatang. Seakan bernasib sama dengan buruknya pelayanan publik untuk mudik, penjualan dan distribusi tiket untuk pertandingan tersebut juga mungkin saja masih tidak akan teratur.

Sebagai suporter timnas, memori yang sama saat Piala AFF 2010 pasti tidak akan terlupakan. Memori pertama, terkait ticketing dan hasil laba penjualan yang tidak transparan. Antrean panjang suporter yang datang jauh-jauh dari pelosok negeri tidak diimbangi dengan pelayanan layak dari panitia yang notabene adalah pengurus "PSSI orde baru", yang saat itu masih dipimpin oleh Nurdin Halid. Lebih ironis lagi, hasil penjualan tiket tidak pernah transparan dan yang lebih menyakitkan, diduga beberapa pertandingan "dijual" dalam bursa judi oleh segelintir oknum.

Saat itu suporter seolah-olah diposisikan sebagai "pengemis" yang butuh tiket pertandingan, bukan sebagai "raja"”. Kenapa suporter itu raja, karena mereka sebagai konsumen membeli tiket dan kemudian bisa menikmati jasa pertandingan. Selain itu, tanpa kehadiran pemain ke-12 ini dapat dipastikan tidak akan ada "nyawa" dari sepakbola itu sendiri. Riuh rendah penonton tidak akan ada, sehingga atmosfer pertandingan akan beku. Pemain pun tidak akan menemukan aura patriotisme sebagai bentuk aktualisasi peran sebagai pahlawan. Berbaju merah-putih dengan lambang garuda di dada, dibusungkan dan berjuang ditanah lapang. Para pemain adalah wakil Indonesia di lapangan.

Sayangnya PSSI pada saat itu tidak melihat hal itu sebagai faktor penting. Mengesampingkan peran suporter sebagai representasi masyarakat Indonesia yang mencintai sepakbola. Dan justru lebih mengutamakan kepentingan kelompok untuk mengkapitalisasi, mempolitisasi, dan mengkooptasi sepakbola untuk membangun rezim yang status quo.

Alasan di atas inilah yang kemudian melahirkan memori kedua perjalanan kita, di mana pasca Piala AFF sesungguhnya gerakan perubahan: Revolusi PSSI dimulai. Mulai dari suporter yang kecewa karena Indonesia tidak juara, hasil penjualan tiket yang tidak transparan, pengurus PSSI yang koruptif, dan liga yang manipulatif. Akumulasi dari permasalahan itu yang membuat mereka dari seluruh penjuru negeri bergerak dan melawan rezim PSSI. Bergerak mengepung kantor PSSI selama sembilan hari dengan tuntutan perubahan pada sepakbola kita.

Turunkan Nurdin! Tangkap dan Penjarakan Pengurus PSSI! Lawan KoruPSSI! Teriakan seperti itulah yang mereka gelorakan setiap hari di depan kantor PSSI. Berkonsolidasi, terintimidasi, namun berani meneriakkan revolusi. Walaupun tidak serta merta menurunkan Rezim PSSI, namun akhirnya kemenangan itu tiba, bahwa sekarang Nurdin Halid tidak lagi berkuasa. Walapun dosa-dosanya tak terlupakan, namun era sepakbola kita sudah berganti. Menata diri dan kemudian berbenah menuju sepakbola yang mandiri dan enak ditonton oleh semua golongan masyarakat baik kaya, menengah dan miskin sehingga sepakbola menjadi pelipur lara atas penindasan penguasa.

Saat ini rezim sudah berganti. Dan besok saat timnas melawan Turkmenistan (28/7) di Gelora Bung Karno adalah parameter babak baru sepakbola kita. Besok kita bisa melihat cerminan, bagaimana sebenarnya pengurus PSSI saat ini. Mampu menata diri sebelum menata klub, bisa menjadikan suporter sebagai asset, bisa menjanjikan prestasi timnas atau tidak ? Mampu belajar dari rezim "PSSI orde baru" atau tidak ?

Jika tidak, tentunya akan bernasib sama dengan rezim sebelumnya. Tetapi jika mampu memberikan secerca harapan, sebaliknya pasti akan di dukung.

Misalnya, jika kita percaya bahwa perubahan itu bisa dilihat dari hal yang kecil, dari tiket pertandingan besok saja perubahan sepakbola itu bisa terjadi. Dan kembali suporter sebagi titik vital. Suporter sebagai pembeli tiket layaknya warga negara sebagai pembayar pajak. Konsekuensinya, PSSI sebagai "negara" harus memberikan hak kepada rakyatnya yaitu suporter khususnya dan pecinta sepakbola Indonesia pada umumnya.

Jadi, penjualan tiket harus segera ditata oleh pengurus PSSI sekarang. Dijual secara merata dan teratur. Dan yang paling penting adalah meminimalisir calo tiket di GBK. Jika ada calo, pengurus PSSI melalui keamanan dapat menangkap dan bisa diproses hukum. Calo ini beragam, ada calo secara pribagi dan ada calo yang terkoordinir, bahkan ada sekelompok suporter yang juga mencari keuntungan dengan berbisnis calo tiket. Jadi, mengatasi calo ini penting sebagai percontohan untuk klub dan komitmen pengurus baru membentuk sepakbola yang bersih, baik di lapangan ataupun diluar lapangan.

Setelah itu hasil penjualan tiket harus transparan dan disampaikan ke masyarakat. Ini sebagai tolak ukur komitmen pengurus PSSI yang transparan dan akuntabel. Seperti kita ketahui bahwa panitia akan menjual tiket VVIP Rp 500 ribu (200 lembar), VIP Barat Rp 250 ribu (1.600 lembar), VIP Timur Rp150 ribu (1.750 lembar), Kategori 1 Rp 100 ribu (8.950 lembar), Kategori II Rp 50 ribu (7000 lembar), Kategori III Rp 30 ribu (12.500 lembar). Dalam hitungan Save Our Soccer, jika semuanya terjual, panitia akan mendapatkan penghasilan hasil sebesar Rp. 2.697.500.000,00. Sungguh pendapatan yang cukup fantastis untuk sebuah pertandingan bukan?

Dari hal tersebut juga bisa dilihat, bahwa sepakbola kita mempunyai potensi bisnis yang menjanjikan jika dikelola secara profesional. Bayangkan jika setiap pertandingan klub dalam setiap pertandingan dapat menghasilkan uang dari penjualan tiket seperempat dari pertandingan timnas misalnya. Asumsikan saja Rp 500 juta per pertandingan dan setiap klub itu melakoni 34 laga setiap musim. Maka pendapatannya bisa mencapai Rp 17 miliar satu musim. Itu hanya dari tiket saja, belum lagi ditambah dengan sponsorship dan hak siar televisi.

Luar biasa, dari tiket saja perubahan sepakbola bisa terjadi. Dari penjualan tiket yang transparan dan akuntabel, klub bisa hidup tanpa bergantung pada APBD. Dengan begitu sepakbola industri sebenarnya bukan lagi sebuah impian belaka, tetapi sebuah babak baru yang akan segera kita masuki.

Terakhir, pesan untuk pengurus PSSI saat ini, kelola tiket secara profesional, sampaikan pendapatan dan alokasi kepada publik, supaya klub bisa mencontoh dan menerapkan. Bukan hanya teori, tetapi PSSI harus mulai dengan hal yang kecil yaitu tindakan. Mulai dari hal kecil yaitu ticketing.

Tapi jangan lupa, untuk suporter juga membeli tiket melalui agen resmi bukan calo. Dengan begitu kita telah membeli "tiket" untuk perubahan sepakbola Indonesia.



=
Penulis adalah pecinta sepakbola, Koordinator Save Our Soccer (SOS) .

Tentang Kekalahan Indonesia dari Bahrain

Jakarta - Harapan itu kembali tak terpuaskan, bukan di Teheran melainkan di Senayan. Indonesia kalah dari Bahrain dalam pertandingan yang sempat dihentikan wasit gara-gara ulah sebagian suporter yang bandel.

Faktanya, sepakbola Indonesia masih belum banyak berubah. Tak apa-apa. Kita memang masih dalam periode transisi. Perubahan yang sudah terjadi baru di level pergantian pengurus PSSI -- dan ekspektasi masyarakat yang kian hari kian meninggi, terutama ketika yang akan bertanding adalah tim nasional.

Ekspektasi itu bagus, bahkan perlu untuk sebuah motivasi. Tapi jika tidak dibarengi dengan sikap obyektif dan realistis, apalagi sampai menjadi ekspektasi yang membabi-buta, tanpa melihat permasalahan secara komprehensif, jangan-jangan ekspektasi itu akan terus membuat kita "lemas" dan ujung-ujungnya kembali menggerutu dan mengeluh: "Ah, kalah lagi, kalah lagi."

Mungkin itulah potret sebagian masyarakat sepakbola kita. Kita mudah mabuk oleh sebuah keberhasilan "kecil", tapi tak segera memperbaiki hal-hal yang lebih fundamental karena sudah (sempat) berhasil, dan jika begitu, kegagalan melulu dikait-kaitkan dengan nostalgia.

Pelatih

Setelah Indonesia bermain buruk dan kalah 0-2 dari Bahrain kemarin malam di Gelora Bung Karno, Wim Rijsbergen, yang belum seumur jagung menukangi skuad 'Garuda', dicap sudah gagal karena sebelumnya juga kalah 0-3 dari Iran. Berdengung pula suara-suara yang menginginkan Alfred Riedl kembali direkrut sebagai pelatih.

Menurut hemat penulis, ini "basi". Kita terlalu memanjakan keinginan, selalu ingin cepat jadi. Kalah dua-tiga kali, pelatih harus dipecat, seolah-olah Indonesia adalah Inggris, Brasil, Chelsea atau Real Madrid, seakan-akan faktor besar yang menentukan mutu tim itu cuma pelatih.

Riedl -- katakanlah -- memang pelatih yang bagus. Gayanya yang keras, disiplin, bahkan jarang tertawa, cepat disukai. "Pemain kita memang harus dikerasi," begitu kesimpulan sederhananya. Ia memang membuat masyarakat Indonesia mengalami euforia di Piala AFF, membangun fondasi tim yang sangat baik. Bahwa dia sesungguhnya tidak memberi piala di turnamen di level Asia Tenggara itu, seperti pelatih-pelatih sebelumnya, oleh sebagian orang dianggap bukanlah sebuah kegagalan.

Penulis bukannya anti Riedl, tapi mencoba bersikap realistis, dan itu pun lebih ke faktor "nonteknis". Sulit membayangkan PSSI memanggil kembali Riedl setelah mereka mendepaknya begitu saja "tanpa perasaan". Sebaliknya, apa iya Riedl dengan mudah balik ke Indonesia setelah merasa "sakit hati" diperlakukan dengan tidak menyenangkan oleh PSSI.

Soal Rijsbergen, kita belum tahu sebaik apa dia -- atau seburuk apa dia. Tapi dia baru dua bulan bekerja untuk timnas, dan dia sudah membantu Indonesia mengalahkan Turkmenistan sehingga bisa masuk ke babak ketiga Pra Piala Dunia 2014.

Bahwa kemudian Indonesia kalah 0-3 dari Iran, pertanyaannya adalah, apakah sekarang kita sudah sedemikian yakin bisa mengalahkan Iran, yang notabene pernah tiga kali tampil di Piala Dunia dan tiga kali menjuarai Piala Asia? Bukannya merendahkan tim sendiri, bukannya tak berharap juga, tapi faktanya level kita masih di bawah mereka. Sekali lagi, saat ini tingkatan kita masih di Asia Tenggara. Menanjak ke Asia butuh proses lain lagi.

Bahrain di atas kertas lebih lemah daripada Iran. Kita pernah pula mengalahkan mereka di Piala Asia 2007 di Jakarta, walaupun juga kalah 1-3 di Piala Asia 2004. Wajar memang apabila ekspektasi itu membuncah lagi. Sepertinya sebagian besar masyarakat Indonesia sangat yakin Bambang Pamungkas dkk bisa merebut poin penuh kemarin malam.

Yang terjadi kemudian, permainan tim sangat buruk. Apakah itu salah pelatih? Pasti ada. Tapi apakah semata-mata salah pelatih? Tidak mungkin.

"Kita tidak bermain simple football. Kita terlalu bermain individual. Ketika satu pemain berhadapan dengan dua lawan, seharusnya kita mengoper bolanya. Tapi, kita malah menggocek dan akhirnya malah kehilangan bola. Itu kesalahan elementer. Bermain simple football belum ada dalam mind-set kita. Kita tidak bisa menang tanpa possession football. Tanpa possession football, kita tidak akan bisa mencetak gol. Tim-tim terbaik di dunia telah membuktikan hal itu," papar Rijsbergen seusai pertandingan.

Penulis tidak melihat ada yang salah dengan analisis itu. Di lapangan, memang itulah yang terjadi. Artinya, Rijsbergen tahu di mana letak kesalahan permainan malam itu. Artinya, dia tidak bodoh.

Tapi tentu kita juga ingin tahu, seberapa mampu dia mengarahkan pemain-pemainnya supaya melaksanakan instruksi-instruksinya. Satu hal yang terlihat jelas adalah: pelatih Bahrain Peter Taylor nyaris sepanjang pertandingan berada di pinggir lapangan, kerap teriak-teriak pada pemainnya. Rijsbergen tidak begitu, lebih anteng di bangku cadangan. Bagaimana sistem komunikasinya? Ini harus ditanyakan pada orang Belanda itu.

(Intelejensia) Pemain

Bagaimanapun, sepakbola terjadi di lapangan. Pelatih itu semacam sutradara, tukang mengarahkan. Aktor sesungguhnya adalah pemain, karena mereka-lah yang berada di atas rumput, yang menendang-nendang bola, yang memutuskan ke arah mana bola ditendang, diumpan, dibuang, dan seterusnya.

Kepiawaian dan kejelian pelatih memang faktor sangat penting, tapi intelejensia pemain untuk menerjemahkan taktik pelatih, atau juga kemampuan mereka menjaga konsentrasi dalam keadaan keadaan lelah dan buntu, juga amat vital.

Terkait pertandingan melawan Bahrain, yang membuat penonton pun frustrasi, penulis melihat pemain-pemain Indonesia tak memiliki kecerdasan untuk mencari "rencana B" ketika “rencana A" mandeg. Mereka tak bisa menguasai bola di lapangan tengah dan kemudian kebingungan untuk mendapatkan cara buat masuk ke pertahanan lawan.

Celakanya, ada kesan, yang penting bola masuk ke wilayah Bahrain, tak peduli jika itu harus dilakukan dengan cara mengirim umpan lambung jauh, atau mengandalkan crossing dari sayap, padahal kita jelas-jelas tak pernah sekali pun memenangi duel di udara dengan pemain-pemain jangkung Bahrain.

Kecepatan dan kelincahan Boaz pun terlalu diharapkan. Setiap serangan terus saja dialirkan melalui dia. Apa boleh buat, pada akhirnya pemain lawan bisa menemukan cara untuk mengantisipasi gerakan Boaz. Entah kenapa baru di 15 menit terakhir saja permainan "insting" itu bisa dihentikan, dan para pemain mulai berani melakukan tusukan dari tengah, seraya mengurangi bola-bola atas. Tapi ya terlambat.

Apakah itu semua instruksi pelatih? Kalau ya, berarti si pelatih bahkan tak lebih pintar dari penonton. Kalau tidak? Maka pemain memang harus terus belajar mengasah kemampuannya untuk semakin baik.

Intelenjensia pemain sangatlah penting untuk diasah -- seperti juga mentalitas bertanding, yang sering dianggap pula sebagai sebuah kelemahan tim kita selama ini. Pernah ada pertanyaan begini: "Apakah Indonesia akan langsung hebat jika pelatihnya Jose Mourinho atau Pep Guardiola?" Silakan jawab sendiri.

Salah satu cara belajar adalah memperbanyak frekuensi bertanding melawan tim-tim yang berkualitas di level internasional, tidak melulu berkutat di lokal atau ASEAN, biar mereka terbiasa menghadapi berbagai situasi di tengah lapangan.

(Kedewasaan) Suporter

Bahwa suporter Indonesia itu hebat, penuh gelora dan gegap gempita, dunia bahkan sudah mengetahuinya. Jika fanatisme fansnya tidak sebegitu rupa, mungkin akan lebih sulit lagi mencari berita sepakbola Indonesia di media massa asing. Gelora Bung Karno kini sudah dikenal sebagai salah satu stadion dengan suporter paling "gila" di dunia.

Sayangnya, kedewasaan bersikap belum terpupuk merata. Insiden kembang api dan mercon, yang membuat wasit menghentikan pertandingan selama sekitar 15 menit, memperlihatkan penyakit lama yang kambuhan itu. Belum lagi "kebiasaan" menghujani pemain lawan dengan botol air mineral.

Ini pemandangan yang menyebalkan, mencemari sebuah tontonan yang semestinya bisa dinikmati tanpa perasaan was-was dan cemas, khususnya untuk kalangan penonton anak-anak dan wanita, juga karena perilaku norak seperti itu bisa membuat Indonesia merugi. Kita pernah bersedia menerima sanksi FIFA jika hal itu harus dilakukan supaya bisa menurunkan pengurus PSSI yang busuk. Tapi alangkah lucu dan ironisnya jia sanksi itu pada akhirnya dijatuhkan FIFA gara-gara ulah suporter.

Begitu pula dengan sportivitas kepada tim tamu. Alih-alih memberi apresiasi dengan memberi sedikit tepuk tangan, lagu kebangsaan tim lawan malah disoraki, diteriaki "huu..". Memberi dukungan sebesar-besarnya pada tim kesayangan itu "sesuatu banget", tapi tidak menghormati lagu kebangsaan lawan adalah memalukan.

(Keseriusan) Polisi/petugas keamanan

Berharap semua penonton berlaku baik, cuma duduk manis di kursi, tidaklah mungkin. Berharap tidak pernah terjadi keributan suporter dalam sebuah pertandingan sepakbola pun agak utopia. Ini soal ratusan ribu orang tumpah ruah di tempat yang sama, dengan segala atribut pribadi dan motif masing-masing. Itu sudah jadi bagian dalam sepakbola itu sendiri.

Tapi untuk mencegah ekses yang lebih buruk, tetap harus ada safety measure. Di stadion, ranah itu ada di petugas keamanan, polisi. Kenapa kita tak pernah belajar dari negara lain, di mana pemeriksaan bawaan penonton sebelum masuk ke dalam stadion dilakukan dengan serius dan ketat, tanpa terkecuali, tanpa kompromi, tanpa pandang bulu, tanpa toleransi apapun.

Tapi di Indonesia selalu begitu: sweeping cuma ada di mulut pejabat kepolisian, ancaman bagi yang membandel cuma sebatas ancaman. Selalu ada celah buat suporter bandel untuk menyusupkan macam-macam benda terlarang ke dalam stadion.

Petugas pun lebih banyak yang ikut "numpang" nonton dengan menghadap ke lapangan ketimbang mengawasi gerak-gerik suporter yang nakal. Jika ada suporter yang melempar, mereka hanya menunjuk-nunjuk, menggertak dari jauh, karena petugas di tengah penonton memang tak ada atau minim (atau takut dengan massa?)

Bagaimana kesadaran untuk menjadi suporter yang baik akan terpupuk secara merata jika reward and punishment dari petugas tidak dijalankan. Kalau you punya tiket, tidak bawa benda macam-macam, silakan masuk ke stadion. Kalau tidak, silakan Anda tunggu di luar -- dan jangan berulah yang macam-macam juga.

(Profesionalitas) Panpel

Tekad PSSI untuk membenahi berbagai sistem buruk yang pernah dijalani rezim Nurdin Halid masih menunggu pengejawantahannya. Transparansi pemasukan tiket pertandingan timnas, sejauh ini belum dilakukan juga. Sistem pembelian tiket pertandingan pun belum berubah. Soal ini, semestinya sudah ada cara yang lebih menyenangkan konsumen (baca: suporter) ketimbang harus antre sampai dua kali untuk mendapatkan tiket. Apalagi cara ini pun jelas-jelas tidak juga menghilangkan calo, jika itu salah satu tujuannya.

Ketegasan Panpel juga harus diperlihatkan atas nama keadilan. Mereka yang sudah berkorban berjam-jam antre untuk membeli, bahkan datang jauh-jauh dari luar Jakarta, semestinya punya hak lebih dibanding mereka yang tak punya tiket. Apa boleh buat, seringkali mereka yang sudah dilarang masuk pun ujung-ujungnya bisa menerobos juga. Di laga Indonesia-Bahrain, meski panitia dari awal menyatakan cuma akan mencetak 77 ribu tiket, tapi bagaimana mungkin stadion pada akhirnya terisi penuh atas-bawah, dan itu artinya ada 100 ribu orang di sana!

(Komitmen dan kerja keras) PSSI

Pada akhirnya, kunci pembenahan sepakbola Indonesia termasuk tim nasional saat ini ada di PSSI. Semua orang sudah tahu, selama ini sistem persepakbolaan kita tidak berjalan karena tidak ada mesin yang bekerja untuk menggerakkannya, yang disebabkan oleh bobroknya pengurus PSSI periode sebelumnya yang korup.

Semua orang tahu, tanpa perubahan yang signifikan oleh PSSI, jangan harap sepakbola Indonesia tiba-tiba akan membaik -- atau tim nasional tiba-tiba lolos ke putaran Piala Dunia.

Mungkin sebagian fans sudah tidak sabar untuk segera melihat timnas yang terbiasa menang, bagaimanapun situasinya. Tapi sebagian fans lain boleh jadi lebih berharap supaya permasalahan mendasar yang selama ini menghambat perkembangan sepakbola Indonesia, bisa mulai dibenahi dengan baik dan serius oleh pengurus PSSI saat ini. Banyak lah contohnya, dan itu sudah dikampanyekan semua oleh pengurus ketika Kongres lalu, tentang pembinaan usia dini, perbaikan kompetisi sebagai muara pembentukan timnas yang handal, dan lain-lain.

Semoga pengurus PSSI yang sekarang tidak mengulangi kesalahan-kesalahan rezim sebelumnya. Mereka tentu tidak mau membayangkan, pengurus terdahulu yang mereka singkirkan, dan sampai sekarang adem-ayem saja karena semua kejahatan mereka sudah "dipetieskan", akan tertawa dan berkata, "Emang enak ngurus bola!"

Tapi yang lebih penting lagi adalah, jika melakukan kesalahan yang sama dan gagal membuat perbaikan itu, pengurus PSSI sekarang akan lebih mudah berhadapan dengan masyarakat, karena mereka tak cuma punya andil sangat besar dalam menumbangkan Nurdin cs, tapi kecintaan mereka pada sepakbola tidaklah terukur besarnya.



==
* Penulis adalah redaktur pelaksana detiksport. twitter: @sururi10

Melihat Lebih Jauh Asa Skuad Garuda


Jakarta - Dua kali bertanding, dua kali kalah, salah satunya bahkan di Gelora Bung Karno. Jika peluang itu benar-benar mulai mengecil, maka sasaran lebih realistis adalah bagaimana potensi skuad "Garuda" selanjutnya.

Takluk 0-3 dari tuan rumah Iran di pertandingan pertamanya di putaran ketiga babak kualifikasi Piala Dunia 2014 zona Asia Grup E, Indonesia gagal memenuhi ekspektasi suporternya ketika tampil di kandang sendiri melawan Bahrain pada 6 September.

Gegap gempita publik Senayan kala itu tidak membuat permainan Bambang Pamungkas dkk di lapangan menawan. Mereka kalah 0-2 dalam pertandingan yang disempat dihentikan beberapa menit oleh wasit karena ada "pesta" kembang api dari penonton, juga serangan botol air mineral ke arah tim tamu.

Dari itu mencuat banyak cerita. Pelatih Wim Rijsbergen memarahi pemain, sebagian pemain tidak terima dimaki-maki oleh bosnya itu. Lalu beberapa pilar "mengadu" pada pelatih sebelumnya, Alfred Riedl, dan seterusnya dan seterusnya.

Entah sudah seberapa "akur" Rijsbergen dan pemain-pemainnya (yang sempat ngambek) itu -- dan jika sudah, seberapa "ikhlas" mereka berdamai. Sebaiknya berbaik sangka saja, demi kebaikan bersama, karena faktanya, skuad relatif tidak berubah, kecuali beberapa muka yang dimainkan Rijsbergen dalam laga ujicoba melawan Arab Saudi di Kualalumpur hari Jumat lalu, seperti kiper I Made Wirawan, Wahyu Wijiastanto, dan Ferdinand Sinaga.

Sekarang, mestinya Rijsbergen dan anak-anak buahnya sudah jauh lebih mengenal. Komunikasi yang terjalin sepatutnya sudah lebih mengena satu sama lain, dan lalu menguatkan sikap profesional di masing-masing pihak, sehingga semua potensi bisa tergali dan tersinergi secara optimal, dan bagaimana menerapkannya ke lapangan dalam sebuah grup.

Ketika kalah di Teheran, publik lebih bisa menerima kenyataan karena Iran memang kelasnya masih di atas Indonesia. Tapi sewaktu tumbang dari Bahrain di Jakarta, baik Rijsbergen maupun para pemain kena kritik habis-habisan dari semua orang, bahwa mereka mempertontonkan sebuah permainan yang tidak jelas dan pesimistis.

Logikanya, ujian terbesar tim Rijsbergen adalah hari Selasa (11/10) besok, saat menghadapi Qatar. Alasannya, tim ini tentu diharapkan lebih baik seiring berjalannya waktu kebersamaan mereka -- dan pertandingan kembali digelar di Jakarta. Tanpa bermaksud meremehkan, inilah kesempatan terakhir Indonesia memetik kemenangan di kandang sendiri, karena Iran, yang akan dijamu pada 15 November, secara teknis lebih kuat dibanding Qatar dan Bahrain.

Tapi, sebagaimana dalam sepakbola berlaku "apapun bisa terjadi", maka Indonesia tetap memiliki kesempatan itu. Di luar harapan bahkan doa suporter, Rijsbergen dan para pemain-lah yang akan menentukan nasib sekaligus masa depannya sendiri. Pilihan dan konsekuensi menang adalah gampang: peluang untuk mengais asa demi lolos ke babak berikutnya tetap terbuka, dan publik akan sangat senang. Masih banyak masyarakat Indonesia yang semata-mata cuma ingin melihat timnasnya menang.

Akan tetapi, jika gagal mengalahkan Qatar apalagi kalah -- selain bahwa peluang lolos itu boleh dibilang habis -- publik mungkin akan membuat penilaiannya berdasarkan proses dan cara. Jika sudahlah tak menang, dan main buruk pula, jangan heran kalau hanya cela dan kritik yang akan dialamatkan pada mereka. Rijsbergen bisa dituding-tuding lagi.

Namun, apabila (sistem) permainan tergolong baik, apapun hasil yang didapat, semestinya itu menjadi sebuah cara yang rasional untuk mengevaluasi tim dan terutama Rijsbergen. Apakah tim ini dan pelatihnya sudah punya fondasi yang bagus untuk dipoles dan diolah lagi, ditingkatkan terus dan lagi dan lagi. Itu lebih penting untuk dipikirkan dan direncanakan, mengingat membangun timnas yang kuat adalah sebuah proses yang tidak singkat, dan membutuhkan banyak faktor penunjang dari berbagai aspek, tidak semata-mata siapa pemain dan pelatihnya.

Selamat berjuang.

Pemain Asing dan Prestasi Timnas

Jakarta - Setelah hanya menjadi wacana sejak beberapa musim lalu, PSSI akhirnya benar-benar mengurangi kuota pemain asing. Dari sebelumnya lima, kini setiap klub cuma boleh mengontrak empat pemain asing.

Ini tentu berita baik bagi pembinaan sepakbola Indonesia. Berkurangnya kuota pemain asing berdampak bagus bagi pembinaan pemain muda. Berkurangnya jumlah pemain asing diharapkan pemain lokal mendapat kesempatan bermain lebih banyak di liga.

Efek lebih besar bakal dirasakan timnas. Bila pemain-pemain lokal lebih sering tampil, pelatih timnas tak perlu kuatir kekurangan stok pemain berpengalaman. Selain itu, tampil secara reguler di liga juga akan menempa mental pemain. Hal ini tentunya sangat bermanfaat saat memperkuat timnas di laga internasional.